Menurut Rahardjo (2002) perkembangan koperasi
di Indonesia selama ini erat kaitannya dengan kebijakan
"jatah" dan "fasilitas" khusus dari pemerintah, terutama di
masa Orde Baru. Orang masuk koperasi bukan karena ingin bekerja
sama dalam kegiatan produktif, melainkan karena ingin menikmati fasilitas dan
jatah dari Pemerintah. Menurutnya, koperasi adalah sebuah lembaga
instrumen penghimpun dana masyarakat lewat tabungan, tapi dalam kenyataannya,
koperasi selalu menadah dan mendapatkan dana dari pemerintah. Oleh karena itu,
Rahardjo menegaskan bahwa untuk bisa berkembang dengan baik, koperasi perlu
didukung oleh orang yang berpenghasilan di atas garis kemiskinan, orang yang
bekerja (bukan penganggur) dan pengusaha yang produktif. Adanya penghasilan adalah prasyarat bagi perkembangan koperasi.
Seperti yang diberitakan
di Tempo Interaktif (Minggu, 18 Maret 2007), Ketua Dewan Koperasi Indonesia Adi
Sasono menilai pertumbuhan anggota koperasi simpan-pinjam di Indonesia masih
rendah. Hal itu terlihat pada kecilnya tingkat keanggotaan koperasi yang hanya
20% dari 150 juta penduduk dewasa Indonesia. Adi menjelaskan bahwa rendahnya pertumbuhan anggota
koperasi di Indonesia
karena koperasi belum berperan sebagai penggerak roda ekonomi nasional. Masyarakat juga belum
memandang koperasi sebagai tempat simpan dan pinjam serta mengembangkan UKM.
Menurutnya, orang masih mengandalkan perusahaan besar sebagai kesempatan kerja
dibanding membuat usaha sendiri yang bisa membuka peluang kerja untuk orang
lain. Adi menegaskan bahwa ke depan, jika koperasi ingin tetap hidup dan bahkan
berkembang di tengah-tengah ekonomi yang semakin dikuasai oleh unit-unit bisnis
moderen, koperasi harus meningkatkan standar pelayanan dan melakukan audit
secara berkala, supaya peran koperasi dalam meningkatkan roda ekonomi
meningkat. Ia mengatakan bahwa loperasi jangan hanya mengandalkan bantuan
pemerintah saja, tapi juga harus mampu menggerakkan anggotanya untuk
berpartisipasi aktif. Secara makro yang paling mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap PDB, ekspor,
pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan secara mikro yang mendasar berkaitan
dengan kontribusi koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
anggotanya.
Braverman dkk. (1991) juga menegaskan koperasi-koperasi harus terlibat dalam
kegiatan-kegiatan dengan konsekuensi-konsekuensi yang positif dan berkelanjutan
bagi anggota-anggota, maka agen-agen eksternal seperti pemerintah atau donor
tidak boleh mendukung mereka terkecuali koperasi-koperasi tersebut punya suatu
peluang yang lumayan untuk menjadi unit-unit bisnis yang mandiri. Jika tidak,
koperasi-koperasi akan tergantung sepenuhnya pada bantuan-bantuan dari
pemerintah dan donor.
sumber google.com
0 komentar:
Posting Komentar