Senin, 14 Mei 2012

Review Jurnal Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Revisi)

0

PRAKTEK  MONOPOLI  DI  INDONESIA  
PRA  DAN  PASCA UNDANG-UNDANG 
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN 
PRAKTEK MONOPOLI  DAN PERSAINGAN 
USAHA TIDAK SEHAT

Penulis           : Pandu Soetjitro (NIM. B4A000054)
Institusi          : Universitas Diponegoro Semarang
Kata Kunci      : Monopoli – Persaingan, Industri Kecil 

ABSTRAKSI
         Penelitian ini didasarkan pada praktek Monopoli dan persaingan tidak sehat antara pengusaha di Indonesia sejak era Orde Baru yang hasilnya masih membahayakan konsumen dan pengusaha lain, khususnya untuk industri yang keadaan finansialnya kurang baik meskipun persaingan itu sangat dibutuhkan untuk menambahkan kreativitas, efektivitas, dan persaingan kekuasaan di industri mereka sendiri.

          Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memiliki penjelasan tentang praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dalam proses bisnis Indonesia, sebagai konglomerasi bisnis atau industri kecil dan memiliki penjelasan tentang perubahan kondisi persaingan usaha di Indonesia setelah UU no 5 th 1999. Jenis penelitian ini adalah diskriptif dan analisis karena menurut spesifik tujuan penelitian ini untuk memberikan citra tentang praktek monopoli di Indonesia dan pengaruh terhadap persaingan bisnis dan bahwa regulasi sebelum dan setelah kelahiran UU no 5 Tahun 1999.

          Penelitian menunjukkan bahwa benar-benar monopoli dan persaingan bisa berjalan bersama dalam bisnis, karena monopoli memiliki "alami" karakteristik dari bisnis kecil aktivitas dapat menjadi bisnis besar atau usaha raksasa juga. Jadi dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus membuat lebih baik sistem ekonomi untuk orang bisnis bisa bersaing dengan adil.

PENDAHULUAN
           Dalam dunia usaha, persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif. Dalam Teori Ilmu Ekonomi persaingan yang sempurna adalah  suatu kondisi pasar yang ideal. Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu.
         Pertama, pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa. Adapun yang  menentukan harga adalah pasar berdasarkan equilibrium permintaan dan penawaran. Kedua barang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar “perfect homogeneity”, Ketiga pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar “perfect mobility of resource” dan Keempat konsumen dan pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal.
        Walaupun dalam kehidupan nyata sukar ditemui pasar yang didasarkan pada mekanisme persaingan yang sempurna, namun persaingan dianggap sebagai suatu hal yang esensial dalam ekonomi pasar. Oleh karena dalam keadaan nyata yang kerap terjadi adalah persaingan tidak sempurna. Persaingan yang tidak sempurna terdiri dari persaingan monopolistik dan oligopoli.
     Persaingan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada konsumen. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan. inovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Persaingan akan berdampak pada efisiensinya pelaku usaha dalam menghasilkan produk atau jasa. Disisi lain dengan adanya persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas baik.
      Ada beberapa asumsi yang menjadi dasar untuk menentukan adanya monopoli. Pertama, apabila pelaku usaha mempunyai pengaruh untuk menentukan harga. Kedua, pelaku usaha tidak merasa perlu untuk menyesuaikan diri terhadap pesaing dan terakhir, adanya “entry barrier” bagi pelaku usaha yang ingin masuk dalam pasar yang sudah dimonopoli oleh pelaku usaha. Setelah membaca asumsi-asumsi di atas, persaingan yang tidak sehat akan mematikan persaingan itu sendiri dan pada gilirannya akan memunculkan monopoli.

METODOLOGI
    Penulisan tesis ini membutuhkan data yang akurat yang dititikberatkan kepada data primer dari instansi yang terkait dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat dijawab secara tuntas. Agar data yang  dimaksud dapat diperoleh dan dibahas. Penulis mengemukakan metode sebagai berikut :
a.            Metode Pendekatan 
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris karena penulisan ini dimaksudkan untuk membahas secara teoritik mengenai praktek  monopoli dan persaingan serta pengaruhnya bagi persaingan usaha  serta pengaturannya dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data primer dengan cara melakukan pengambilan data dari instansi terkait.  
b.             Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat diskriptif analistis karena secara spesifik penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli di Indonesia dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha serta pengaturannya sebelum dan sesudah lahirnya Udang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dari analisis ini dapat diperoleh kesimpulan umum mengenai persaingan bisnis yang paling ideal dan tidak mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
c.            Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, data primer atau data yang diperoleh langsung dari instansi terkait melalui penelitian lapangan.
d.            Teknik Pengumpula Data
Pengumpulan data untuk penulisan tesis ini dilakukan melalui pengambilan data dari instansi terkait, dan studi kepustakaan, dengan mengkaji sejumlah literatur seperti peraturan perundang-undangan, buku artikel, makalah, laporan hasil penelitian, majalah dan surat kabar yang berkenaan dengan persaingan bisnis.

PEMBAHASAN

1.         Praktek Monopoli Sebelum dan Sesudah Lahirnya UU No.5 Tahun 1999
       Monopoli adalah ciri khas bisnis pada Era Orde Baru yang berdampak sangat merugikan bagi perkembangan bisnis dan ekonomi di Indonesia. Kata monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti penjual tunggal. Di Amerika sering digunakan istilah anti trust untuk pengertian yang sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang sering dipakai oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah monopoli.
       Ketika krisis mendera, kita sadar bahwa fundamental ekonomi kita rapuh karena prektek bisnis tidak sehat. Struktur perekonomian keropos, karena tulang punggung penyangga tidak berakar kuat. Kesadaran itu mencapai puncaknya pada tanggal 5 Maret 1999 dengan dilahirkannya Undang-undang No.5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat (UU anti monopoli). Namun karena berbagai pertimbangan, pemberlakuannya disesuaikan agar kalangan dunia usaha mempunyai kesempatan yang cukup untuk membenahi diri dan beradaptasi. Namun sampai batas akhir waktu penyesuaian itu yaitu 5 September 2000 praktek monopoli terus berjalan. Justru kesempatan untuk melakukan penyesuaian tidak digunakan sebagaimana mestinya.  
       Kehadiran UU No.5/1999 itu sebenarnya merupakan refleksi terdalam dari semangat membangun sistem ekonomi pasar yang efisien, terbuka dan sehat. UU itupun menjadi aturan main yang fair. Setelah lama kita tidak memiliki sistem legal dan kokoh dibidang ekonomi yang mendasar bagi setiap pelaku ekonomi. Sekaligus menjaga agar dunia usaha yang bersaing itu berjalan secara sehat jujur dan adil. Artinya praktek-praktek monopoli dan sejenisnya dilarang atau setidaknya diatur pelaksanaanya.
       Beberapa kegiatan  yang dilakukan oleh dan difasilitasi oleh asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana diatur dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga. Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 penetapan harga didefinisikan sebagai berikut :
“bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas  suatu barang dan / atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar  bersangkutan yang sama.“

2.    Kondisi Industri Kecil Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 5  Tahun 1999
Ciri-ciri khusus keterbelakangan industri kecil di Indonesia:
a.       Lebih dari setengah diantaranya didirikan demi pengembangan usaha kecil-kecilan
b.      Selain masalah persoalan modal, masalah lain yang dihadapi industri kecil bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan usaha.
c.       Sebagaian besar tidak mampu memenuhi persyaratan adminstrasi guna memperoleh bantuan bank.
d.      Hampir 60% diantaranya masih menggunakan teknologi tradisional.
e.      Hampir setengah diantaranya hanya mempergunakan kapasitas terpasang.
       Secara negatif bisa dikatakan bahwa kehadiran UU No. 5/1999 sama sekali tidak ada kaitannya dengan usaha kecil.  Dengan dikecualikannya usaha kecil dari UU No. 5/1999, usaha kecil justru  akan   memiliki  landasan  hokum untuk melakukan semua usaha yang dilarang oleh UU No5/1999 bagi usaha besar. Artinya kehadiran UU No.5/1999 akan menjadi semacam perlindungan terselubung bagi usaha kecil untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Secara operasional usaha kecil bukanlah pesaing usaha  besar. Usaha kecil adalah pesaing usaha kecil lainnya.  Artinya sengaja atau tidak UU no.5/1999 telah mengukuhan pelembagaan dualisme ekonomi dan mengizinkan berlangsungnya hukum rimba dalam lingkungan usaha kecil.

3.      Prospek Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
       Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat, mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang monopoli. Tujuan akhir UU ini adalah untuk mewujudkan persaingan usaha yang fair, sehingga dapat menciptakan ekonomi pasar yang efisien dan efektif dalam mensejahterakan rakyat.
       Ketentuan UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang membuat perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang bersangkutan, yaitu terjadi  praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang bersifat per se rule adalah ketentuan pasal 5, dan pasal 10 ayat 1. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24. Perjanjian
horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli adalah sebagai berikut :

  •  Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa  yang dikenal dengan larangan price fixing secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat  1 tersebut adalah suatu larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak  oleh KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/pembeli. Mereka membayar harga suatu barang atau jasa tertentu karena disepakati oleh para pelaku usaha tersebut. Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
  • Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan ”Bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.” Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga  yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan
usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
  • Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU Antimonopoli. Larangan pembagian wilayah tersebut ditetapkan secara jelas di dalam pasal 9. Ketentuan pasal 9 menetapkan “Bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi  pasar terhadap barang atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”  Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah pemasaran tersebut, wilayah  pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas. Persaingan diantara mereka menjadi tertutup. Konsumen juga tidak mempunyai alternatif untuk membeli suatu produk pada pasar yang bersangkutan. Akhirnya harga produk yang dijual juga dapat ditentukan oleh  masing-masing pelaku usaha sekehendak hatinya. Hal  ini akan merugikan konsumen.
  • Pemboikotan
Pemboikotan salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal 10 UU Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat para pelaku usaha  yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Ketentuan ini agak sulit dibayangkan bagaimana dua atau lebih pelaku usaha yang saling bersaing di dalam pelaksanaannya dapat menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar yang bersangkutan yang horisontal. Hal yang lazim dilakukan dalam pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).
  • Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan atau pemasaran suatu barang atau  jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 11 tidak saja bertujuan mengatur jumlah produksi tetapi juga mengatur pemasarannya. Khusus mengenai pengaturan pemasaran sudah diatur sebelumnya di dalam pasal 9. Oleh karena itu, ketentuan pasal 11 mengatur hal yang sama secara berlebihan. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian yang
menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu.  Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada pasar yang bersangkutan.
  • Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
§  Pasal 22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
§  pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Informasi yang dimaksudkan disini adalah informasi pesaing dari pelaku usaha yang bersifat rahasia. Diasumsikan pihak ketiga memberikan informasi pelaku  usaha yang bersifat rahasia secara strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
§  pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Ketentuan pasal 24 tersebut mencakup perjanjian horisontal dan vertikal.

KESIMPULAN

       Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh kegiatan itu dilakukan dalam ramburambu hukum, implikasi penerapan monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.

      Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha dapat diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana. Implikasi pemberlakuan Undangundang ini adalah dalam rangka mengantisipasi pasar bebas pada era globalisasi ekonomi guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

       Perkembangan Industri kecil di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah yang berkaitan dengan praktek monopoli maupun persaingan.  Dimana tingkat intensitas dan sifatnya berbeda  tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga ada perbedaan antar wilayah atau lokasi, antar sentra, antar sektor atau sub sektor atau jenis kegiatan dan antar unit usaha dalam kegiatan atau sektor yang sama dibanding dengan usaha industri besar. Juga ada beberapa masalah umum yang dihadapi oleh Pengusaha Industri Kecil maupun Industri Rumah Tangga seperti keterbatasan modal kerja dan atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dengan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi, SDM dengan kualitas yang baik, terutama manajemen dan teknologi produksi. Sehingga hal ini menyebabkan kondisi Industri Kecil sulit melawan persaingan yang terjadi dalam bisnis di Indonesia apalagi dengan adanya Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat yang tidak dapat dihindari.

Nama Kelompok :

  • Ajeng Ayu SeptyaNingrum    {20210451}
  • Faidah Nailufah                  {29210382}
  • Nia Fandany                       {24240954}
  • Yuli Kahono Susanti             {28210742}

sumber 





0 komentar:

Posting Komentar